LIFESTYLE

Mewaspadai “Perselingkuhan Politik” pada Pilkada Serentak

Oleh : Maspril Aries
Wartawan Utama/Seksi Pendidikan PWI Sumsel

Tahun 2020 Indonesia kembali menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Sebelumnya Indonesia telah melaksanakan Pilkada serentak pada tahun 2015, 2017 dan tahun 2018. Pilkada serentak 2020 akan berlangsung 23 September 2020.

Pilkada serentak 2020 akan berlangsung di 270 daerah yang terdiri dari Pilkada gubernur di 9 provinsi, Pilkada bupati di 224 kabupaten, dan Pilkada Wali Kota di 37 kota. Untuk Provinsi Sumatera Selatan Pilkada serentak akan berlangsung pada tujuh kabupaten yaitu, Penukal Abab Lematang Ilir (Pali), Musirawas Utara (Muratara), Ogan Komering Ulu (OKU), Ogan Ilir (OI) OKU Selatan, OKU Timur dan Musi Rawas (Mura).

Pilkada serentak memiliki arti penting dan strategis bagi bangsa Indonesia, yaitu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kompeten, kredibel dan berintegrasi. Mengutip Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Malik (almarhum), ada tiga alasan penting mengapa Pilkada serentak harus dilaksanakan (2016).

Pertama, memperkuat efektivitas sistem pemerintahan presidensil (efektive government). Kedua, efisiensi pembiayaaan penyelenggaraan pilkada (efficient governement). Ketiga, penataan siklus penyelenggaraan pemilu secara nasional (election cycle management).

Pilkada langsung (dan serentak) merupakan salah satu terobosan politik yang signifikan dalam mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal. Pilkada adalah bagian dari proses pendalaman dan penguatan demokrasi (deepening and strengthening democracy) serta upaya mewujudkan tata pemerintahan yang efektif.

Urgensi diterapkannya sistem Pilkada langsung (dan serentak) juga terkait erat dengan upaya mewujudkan tujuan penting kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu menciptakan pemerintahan daerah yang demokratis dan terwujudnya kesejahteraan rakyat. (Husni Kamil Malik, 2016).

Pada pelaksanaan Pilkada serentak dimana peran pers? Bagaimana pers atau media berkontribusi dalam Pilkada serentak di Sumatera Selatan (Sumsel)?

Dalam Pasal 3 UU No.40 tahun 1999 tentang Pers menyebutkan, “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”. Artinya, selain memberi informasi, pers berperan untuk mengedukasi masyarakat, termasuk dalam momen penting Pilkada serentak 2020.

Dalam melaksanakan fungsi pers tersebut, pers yang menghasilkan produk jurnalistik atau pemberitaan dan sepenuhnya terikat dengan etika jurnalistik. Dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada Pasal 1 menyebutkan, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk.”

Dalam menyajikan pemberitaan seputar Pilkada, media harus menjaga keberimbangan, netralitas dan independensi media. Dalam prakteknya ada media pers yang masih menjaga komitmennya untuk tetap imparsial dan independen. Tidak sedikit yang nyaris tergelincir, tak mampu menjaga komitmen keberimbangan. Menurut anggota Dewan Pers 2016 – 2019 Jimmy Silalahi, “faktor kondisi ekonomi internal media menjadi salah satu penyebabnya”.

Sejumlah media pers akhirnya silau dan melakukan malpraktek jurnalistik demi memperoleh keuntungan dari pasangan calon kepala daerah. Media pers akal-akalan mengemas kampanye politik dalam bentuk berita (kampanye terselubung) menjadi “permainan” sejumlah media pers di beberapa daerah. Kondisi tersebut diperparah dengan “perselingkungan politik” oknum wartawan/ jurnalis media pers dengan salah satu pasangan calon kepala daerah atau partai politik pengusungnya. Bahkan ada yang mengambil posisi sebagai tim sukses kandidat. “Perselingkuhan” oknum wartawan tersebut telah melanggar amanat UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan KEJ.

Keberimbangan, netralitas media dan independensi media dalam Pilkada kerap menjadi hal yang sulit dilakukan. Pasalnya, media sering terjebak atau dijebak ke dalam subjektivitas terhadap salah seorang calon kepala daerah. Subyektif pemberitaan juga terjadi dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat. Terasa sulit menafikannya karena yang terjadi di Amerika Serikat sangat vulgar antara media satu dan yang lain dalam keberpihakan terhadap salah seorang calon.

Konsep netralitas yang populer dalam media menurut Eriyanto dalam buku “Analisis Framing: Kontruksi, Ideologi dan Politik Media” 2002, adalah keberimbangan (balance), ketidakberpihakan (impartiality), keadilan (fairness), dan obyektivitas (objectivity). Mengutip Oxford Advanced Learner’s Dictionary netralitas adalah keadaan tidak membantu salah satu pihak dalam ketidaksepakatan, kompetisi, dan sebagainya. Dari rumusan yang serba ringkas itu, netralitas memuat pengertian tentang kemampuan subjek sosial dalam menjaga jarak ketika terjadi pertikaian atau persaingan.

Netralitas media dalam Pilkada bukan sekadar jargon atau harapan publik. Netralitas merupakan imperatif (kewajiban) yang mengikat seluruh pihak yang terlibat dalam produksi pemberitaan di media. Artinya, jika publik sekalipun tidak menuntut media bersikap netral, media tetap memiliki otonomi untuk membuktikan mereka tidak menyokong kandidat tertentu. Konsekuensi dari netralitas sebagai wujud profesionalisme menjadi keharusan dengan tidak membantu pihak-pihak yang berkompetisi.

Ketika media menunjukkan pemihakan dikhawatirkan terjadi manipulasi fakta. Ini merupakan hal yang amat ditabukan. Kandidar yang didukung media akan memperoleh bahasa pemberitaan yang serba baik. Sebaliknya, mereka yang tidak didukung media akan gampang mendapatkan cita rasa semburan linguistik yang sangat memojokkan .

Media massa merupakan sarana komunikasi politik. Dalam kerangka opini publik media massa umumnya melakukan tiga kebijakan sekaligus. Pertama, menggunakan simbol-simbol politik (language of politic). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (framming strategies). Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting fungction).

Selain netralitas, independensi media atau wartawan dalam Pilkada harus terus dijaga. Menurut Denis MacQuail, independensi media tercermin dari keterpercayaan (reliability), yang disampaikan kepada audience adalah yang diliput media (originality), dan posisi kritisnya (critical stance) (1992). Berdasarkan uraian tersebut maka sikap independen media secara sederhana adalah kemampuan media dalam mengungkap apa adanya suatu isu dan berita.

Independensi media dalam suatu pemberitaan bisa dengan mengacu pada sembilan elemen jurnalisme dari Bill Kovach:
a. Kewajiban pertama jurnalis adalah kebenaran;
b. Loyalitas pertama jurnalis adalah kepada warga (citizens);
c. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi;
d. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput;
e. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap
kekuasaan;
f. Jurnalis harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar
dari masyarakat;
g. Jurnalis harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan;
h. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan
proporsional;
i. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani.

Prinsip netralitas media dalam pemberitaan pilkada juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 77 ayat (1) menyebutkan, media cetak dan media elektronik memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk menyampaikan tema dan materi kampanye. Ayat (2) media cetak dan media elektronik wajib memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk memasang iklan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam rangka kampanye.

Independensi media massa dalam Pemilu atau Pilkada sampai kini kerap memasuki area perdebatan. Media diharapkan dapat menjadi penetral dari segala konflik dalam Pilkada, sekaligus menjadi pengontrol dan pengawas yang konstruktif bagi publik. Media mempunyai peran yang signifikan dalam Pilkada serentak, oleh karena itu media diharapkan mampu menjadi kontrol yang efektif.

Dalam hubungannya dengan Pilkada serentak 2020 ada beberapa peran yang bisa lakukan pers atau media. Pertama, media bisa berperan sebagai guru politik dengan menyampaikan informasi yang utuh tentang realitas Pilkada serentak. Kedua, media menjadi pengontrol kritis-konstruktif. Ketiga, media sebagai perekat sosial.

Peran pertama sebagai guru politik, pers atau media berperan dalam menggalakkan pendidikan politik untuk para pemegang hak pilih. Media harus menyampaikan informasi yang utuh tentang realitas Pilkada guna menghilangkan dahaga publik yang haus dengan informasi Pilkada dan dan mensuplai informasi yang bisa memenuhi hasrat keingintahuan masyarakat tentang Pilkada atau calon-calon peserta Pilkada.

Media massa sebagai guru politik harus menyisihkan ruang bagi publik untuk mengekspresikan hasrat dan suara politiknya, sebagai bentuk partisipasi mereka atas proses politik yang sedang berlangsung. Menjadi tugas media untuk terus-menerus mengingatkan bahwa partisipasi politik harus dipahami secara lebih fundamental sebagai keterlibatan sukarela dan bermakna semua orang dalam proses penyelenggaraan kepentingan bersama.

Pers diharapkan berperan besar dalam proses pendidikan politik warga negara ini karena, dari berbagai segi, negara dan partai politik belum mampu menjalankannya dengan baik. Sementara itu di lingkungan pers belum memberikan perhatian memadai terhadap masalah pendidikan politik. Dalam setiap penyelenggaraan pemilu ataupun pilkada, ruang publik media secara umum terlalu terfokus pada pemberitaan dan diskusi tentang popularitas dan elektabilitas para kandidat serta persaingan di antara mereka.

Peran kedua, media sebagai pengontrol kritis-konstruktif. Pada era reformasi yang melahirkan euforia publik atas kebebasan, kerap memunculkan praktek kehidupan politik yang bertentangan dengan anjuran demokrasi. Media massa sebagai pengawas sosial, harus dapat mengungkap praktek-praktek politik yang curang, seperti politik uang dengan bahasa jurnalistik yang damai (tanpa provokatif).

Peran ketiga, media sebagai perekat sosial. Tingginya semangat setiap kandidat untuk memenangkan kontestasi Pilkada terkadang membuat mereka lupa akan kekalahan. Ditambah lagi dengan munculnya masa-masa fanatik yang hanya ingin menang, membuat kemungkinan akan terjadinya sikap anarkis selalu menjadi ancaman bagi tatanan kehidupan sosial yang aman dan damai. Media massa dapat berperan untuk mengantisipasi dan meredam kemungkinan terjelek dari Pilkada serentak tersebut.

Dengan pemberitaan yang sejuk dan ulasan yang mendidik, media massa dapat menyentuh hati dan perasaan pada pendukung kandidat. Media massa jangan menjadi “provokator”, karena hal tersebut tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga akan berakibat bagi hilangnya reputasi media itu sendiri. Pers atau media dalam pemberitaan pilkada harus mencegah atau meredam terjadinya konflik.

Menurut Gun Gun Heryanto konflik Pilkada biasanya muncul dari hal-hal sebagai berikut : Pertama, tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Kedua, sengketa Pilkada juga banyak dipicu oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Ketiga, konflik juga sangat mungkin lahir dari ekses masa kampanye. Seperti mendeskriditkan kandidat, black campaign, pembunuhan karakter yang dapat menimbulkan rasa sakit hati. Jika menemukan momentumnya ini dapat menjadi akselerator konflik dalam Pilkada.

Keempat, tahapan yang juga biasanya krusial adalah tahapan penetapan pemenang pilkada. Kelima, konflik juga bisa jadi muncul di proses penetapan pemenang. Kasus di beberapa daerah, DPRD tidak mau menetapkan hasil Pilkada.

Dengan meminjam istilah Douglass Cater, media sebagai The Fourth Branch of Government– menemukan momentumnya. Media turut memberi pendidikan politik serta mendewasakan masyarakat ke arah demokrasi substansial melalui saluran Pilkada. Mari mewaspadai terjadi perselingkuhan politik pada pilkada serentak dengan mengedepankan independensi media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.