Gaya Hidup Suku Kubu Sumsel
Suku Anak Dalam belum dapat meninggalkan kebiasaan mereka dengan berladang berpindahnya dan mencari lokasi baru, karena menganggap tempat mereka sudah tidak memberikan penghidupan baru
Oleh: Bangun Lubis – Pemimpin Redaksi SIBERNAS.Com
Gaya hidup suku anak dalam atau lazim dikenal dengan suku Kubu di belantara hutan Sumsel adalah sangat unik dan jarang ditemukan pada suku bangsa yang lain. Pada upacara perkawinan misalnya, mereka dikatakan sah bila masing-masing saling mencari kutu di kepala. Juga kedua mempelai diarak dengan hanya memakai pakaian yang terbuat dari kulit kayu.
Pada upacara seseorang yang sakit sampai meninggal ada upacara unik yang disebut Besale dan Surau, yang juga merupakan upacara yang unik. Upacara Besale adalah upacara penyembuhan. Apabila si sakit tak bisa disembuhkan lagi, maka diberlakukan upacara Surau. Si sakit diasingkan kehutan dengan hanya ditemani oleh seekor anjing. Kalau si sakit kemudian meninggal maka mayatnya diusung dan ditempatkan di sebuah bale di pucuk pohon. Dengan dibarengi hidangan-hidangan tertentu oleh pihak keluarga, maka mayat itu ditinggallah di tengah hutan dan pantang untuk didatangi
Ada orang bernama Safari asal dari Brebes, Pulau Jawa. Ia sesungguhnya guru mereka dalam hal bertani secara tak langsung. Artinya Safari yang hanya berbekal peralatan pertanian sederhana mengelola tanahnya menjadi lahan pertanian dan perkebunan yang subur. Orang-orang Kubu kemudian mengintipnya dan meniru melakukan pertanian itu. Kemudian satu per satu keluarga berdatangan dan mulai meniru serta menggarap sawahnya. Mereka tidak lagi melakukan ladang berpindah, kalau untuk mencari lokasi hutan yang baru saja sudah sulit akibat adanya HPH. Ketika meninjau pemukiman suku anak akan dilalui dengan menempuh sebuah perjalanannya cukup melelahkan. Berjalan kaki melalui jalan darat, naik turun bukit, menyibak rimbunnya hutan dan berkenderaan ketek (perahu).
Tak banyak orang yang bersedia mengabdi tanpa diberi imbalan. Jangankan di tengah-tengah hutan di kota yang hirup pikuk dan masih menjanjikan berbagai fasilitas hidup sesuai dengan kehidupan modern, sulit mencari orang yang bersedia. Tapi tidak bagi Safari, lelaki kelahiran Brebes. Pengabdian di tengah hutan merupakan hal yang mengasyikkan baginya, meski tanpa fasilitas dan imbalan penghargaan lainnya. Bentuk pengabdian itu terbukti di dalam kelompok Suku Anak Dalam yang ada di desa Kubuan, Kabupaten Musi Rawas.
Sejak dua puluh tahun lalu, Safari hidup di hutan bersama seorang istrinya melakukan pertanian layaknya di Pulau Jawa yang masih banyak menggunakan sawah tadah hujan. Kehadirannya di Kubuan, desa pemukiman Suku Anak Dalam sejak tahun 1970, amat berjasa. Betapa tidak populasi Suku Anak Dalam ini semula hanya empat kepala keluarga yang dekat dengan kebun Safari. Namun kemudian, keakraban dan rasa persaudaraan yang erat diciptakan oleh Safari kepada seorang diantara keluarga yang ada itu, membuat tali persaudaraan antara Safaridengan penduduk suku tersebut menjadi akrab.
Sang Guru
Safari sejak tahun 70-an telah bertani dan berkebun di wilayah dekat pemukiman Suku Anak Dalam. Melihat cara Safari berkebun oleh golongan ini yang mengintipnya, merasa dirinya tertarik dan kemudian mengikuti cara-cara yang dilakukan Safari. Sejak itu pula 4 kepala keluarga yang berjumlah sekitar 7 jiwa mulai menggarap lahan dengan sistem pertanian seperti yang dilakukan Safari.
Setiap hari Safari memperkenalkan macam-macam tanaman yang bisa dimakan dan menyingkirkan makanan yang sebenarnya tidak baik untuk dimakan. Semula, kebiasaan itu sulit dilakukan oleh suku tersebut, namun lama-kelamaan semua hal yang dianjurkan oleh Safari mereka lakukan dan diikutinya. Maka tidak heran jika ada seorang diantara suku itu kemudian mengirimkan kabar berita kepada keluarga mereka di tengah hutan, agar bersedia mendekat untuk melihat kenyataan peradaban modern yang tidak pernah terbayang di benak
Memang menurut Safari, diantara mereka masih ada yang merasa takut untuk mengikuti keluarganya mendekat ke pemukiman masyarakat Desa Semangus karena cerita-cerita lama tentang penjajahan masih menjadi momok bagi suku tersebut. Menurut cerita, mereka tahunya penjajah masih menguasai desa-desa hingga masih menjadi hal yang menakutkan bagi mereka
Bercerita mengenai pengabdian dalam memberikan pendidikan nilai-nilai dari peradaban baru di desa tersebut, bagi Safari bukan hal yang harus dibarengi dengan imbalan.
“Hingga saat ini saya tak pernah mendapat apa-apa dari pemerintah,” katanya polos. Menurut dia, arti pendidikan sendiri pun tak banyak dia ketahui, sementara yang dilakukannya, tak lain hanya merupakan suatu hal yang biasa sebagai manusia dan menganggap golongan ini meski terbelakang juga membutuhkan makan.
“Mereka hanya saya ajari cara bercocok tanam dan berusaha memberikan kepercayaan bahwa pada suatu tempat, atau tanpa mengadakan sistem ladang berpindah pun, orang bisa memberikan hidup,” katanya. Apa yang dilakukan Safari itu sedikit banyak telah membuka mata Suku Anak Dalam mengenai kehidupan. Tetapi bukan berarti mereka menerima semua yang diberikan itu.
Suku Anak Dalam belum dapat meninggalkan kebiasaan mereka dengan berladang berpindahnya dan mencari lokasi baru, karena menganggap tempat mereka sudah tidak memberikan penghidupan baru. Kendati demikian, beberapa anggota Suku Anak Dalam ini kembali ke tempat semula karena mereka juga menemui kesulitan menentukan lokasi baru. Hal ini lah yang menjadikan Safari berusaha untuk memberikan bimbingan dan pengarahan. Sementara bagi Suku Anak Dalam safari merupakan “guru” yang sebenarnya mereka inginkan.
Tidak mengherankan apa yang dilakukan Safari biasanya akan diikuti pula oleh Suku Anak Dalam yang menginginkan pembaruan, walaupun itu tidak gampang. Safari si anak Jawa ini memang tak pernah membayangkan akan penghargaan. Dia bekerja hanya demi kekerabatan sebagai layaknya anak manusia yang hidup dalam suatu msyarakat. Dan ia tak pernah membedakan apakah dia berada di Suku Anak Dalam ataukah di sebuah negeri yang berperadaban modern.